Sudah hampir setahun perjalanan jauh ini berlalu, perjalanan yang tidak pernah aku sangka bisa ku lakukan. Memang kadang sesuatu yang tak pernah disangka-sangka akan selalu lebih indah. Masih teringat jelas setiap detik yang kulalui, my first sunrise was so pretty! Sedikit aku ingin mengenang perjalanan jauh ku ini, kenangan yang indah bukanlah untuk dilupakan tetapi untuk selalu diingin dan diceritakan kembali. Merauke, su lama tak jumpa!
Agustus 2015, perjalanan ku dimulai. Bersama 17 teman ku, aku bergegas bersiap-siap dengan carrier penuh berisikan konsumsi, alat perang selama perjalanan. Tak lupa ransel kecil berisikan baju ganti selama 30 hari perjalanan ini. Stasiun Senen sudah ramai akan pemudik yang telah antri sebelum kami, maklum ini masih H+3 lebaran. Tak lama aku masuk ke area stasiun dan bergegas masuk ke dalam kereta yang sudah menunggu. Kereta mulai melaju, meninggalkan semua hirukpikuk keramaian kota ini. Kuhabiskan waktu berbincang-bincang, makan, melihat pemandangan dan tidur. Sekitar 12 jam lamanya meniggalkan Bumi Pasundan akhirnya aku tiba di Kota Pahlawan, Surabaya. Di kota ini aku hanya transit selama sehari menunggu kapal yang akan kami tumpangi datang. Bermalam di tempat teman pencinta alam UnAir.
Hari H keberangkatan ku menuju Merauke. Pelabuhan Tanjung Perak adalah titik awal aku berlayar. Pagi-pagi buta kami sudah bergegas menuju pelabuhan. Pelabuhan cukup sudah ramai dengan pemudik yang hendak kembali ke tanah rantaunya. Cukup lama proses kami untuk bisa naik kapal laut. Sempat terjadi masalah karena carrier temen ku yang berisikan gas, golok dan pisau disita, sehingga menghambat kami naik kapal. Sekitar 30 menit, masalah ini selesai dengan solusi meninggal semua barang-barang tersebut. Saat aku masuk kedalam dek utama, hembusan angin dari AC dalam dek ini masih terasa dengan beberapa ABK yang hilirmudik di dalam dek. Namun sayangnya setiap sudut ruangang sudah kapal ini telah terisi oleh penumpang yang terlebih dahulu naik, kecuali di dek luar. Cukup menyakitkan pada malam pertama untuk tidur diluar, terlebih diriku yang tak tahan dengan angin malam. Membuat aku dan satu orang temanku tak berdaya selama semalam suntuk.
Malam telah usai, mentari pagi pertama mulai terbit dengan indahnya. Namun, apa daya tubuh ini masih terasa lemas bertahan, beradaptasi dengan guncangan dan anginnya. Sarapan Pagi itu, telur, saus, sayur sawi putih dan nasi. Rasa asin air laut mungkin satu-satunya bumbu masakan ini. Tak banyak mengeluh ku santap sarapan, setidaknya untuk mengembalikan tenagaku lagi. Tetapi, tidak lama kepala ku mulai pening, semua santap pagiku yang telah berada dalam perut mulai naik ke uluh hati menuju kerongkongan dan berakhir semua itu ku lepaskan kelautan lepas.
Siang itu kami bersandar di Pulau Kalimantan, Pelabuhan Batulicin. Banyak penumpang yang turun, membuat dek bagian dalam menjadi sangat kosong. Aku berserta temen-temanku bergegas menuju dek paling bawah untuk mendapat tempat baru yang lebih layak. Usai itu, tak lama-lama aku keluar dek melihat pemandangan pelabuhan kecil ini. Sekitar 2 jam kapal pun berangkat menuju Pulau Sulawesi, Pelabuhan Makassar. Keesokan harinya kami tiba, lautan bersih biru jernih di pinggir kota ini membuat ku takjub. Saat kami tiba kami memiliki waktu 4 jam untuk turun menginjakan kaki di Kota Makassar, lama waktu kapal bersandar. Setidaknya menghilangkan rindu akan hirukpiku lautan dan makanan bumbu air laut itu. Ini cukup menghibur hati ku dan teman-teman ku yang lain, terlebih kami memang belum pernah berada disini sebelumnya. Kami habiskan waktu dengan makan makanan berasa yaitu Coto Makassar dan jajan di minimarket.
Kapal pun kembali berlayar sesui dengan waktunya menuju kegugusan Pulau Sunda Kecil. Pelabuhan Bima adalah yang pertama. Ombak laut cukup membuat kapal ini berguncang. Aku sudah bisa mengendalikan diri dengan antimo dan hibernasi, tidur selama yang aku bisa. Perjalan menghabiskan waktu sekitar 1 hari. Pemandangan luar biasa indah yang aku lihat, hamparan bukit-bukit dengan pantulan sinar matahari yang terpantul di birunya air laut. Tak pernah aku bayangkan daerah seperti ini berada di Indonesia. Satu hal yang tebesit dipikiranku, ini seindah yang ada yang di majalah dan tv.
---to be continued
Read More
Agustus 2015, perjalanan ku dimulai. Bersama 17 teman ku, aku bergegas bersiap-siap dengan carrier penuh berisikan konsumsi, alat perang selama perjalanan. Tak lupa ransel kecil berisikan baju ganti selama 30 hari perjalanan ini. Stasiun Senen sudah ramai akan pemudik yang telah antri sebelum kami, maklum ini masih H+3 lebaran. Tak lama aku masuk ke area stasiun dan bergegas masuk ke dalam kereta yang sudah menunggu. Kereta mulai melaju, meninggalkan semua hirukpikuk keramaian kota ini. Kuhabiskan waktu berbincang-bincang, makan, melihat pemandangan dan tidur. Sekitar 12 jam lamanya meniggalkan Bumi Pasundan akhirnya aku tiba di Kota Pahlawan, Surabaya. Di kota ini aku hanya transit selama sehari menunggu kapal yang akan kami tumpangi datang. Bermalam di tempat teman pencinta alam UnAir.
Hari H keberangkatan ku menuju Merauke. Pelabuhan Tanjung Perak adalah titik awal aku berlayar. Pagi-pagi buta kami sudah bergegas menuju pelabuhan. Pelabuhan cukup sudah ramai dengan pemudik yang hendak kembali ke tanah rantaunya. Cukup lama proses kami untuk bisa naik kapal laut. Sempat terjadi masalah karena carrier temen ku yang berisikan gas, golok dan pisau disita, sehingga menghambat kami naik kapal. Sekitar 30 menit, masalah ini selesai dengan solusi meninggal semua barang-barang tersebut. Saat aku masuk kedalam dek utama, hembusan angin dari AC dalam dek ini masih terasa dengan beberapa ABK yang hilirmudik di dalam dek. Namun sayangnya setiap sudut ruangang sudah kapal ini telah terisi oleh penumpang yang terlebih dahulu naik, kecuali di dek luar. Cukup menyakitkan pada malam pertama untuk tidur diluar, terlebih diriku yang tak tahan dengan angin malam. Membuat aku dan satu orang temanku tak berdaya selama semalam suntuk.
Pelabuhan Batulicin |
Malam telah usai, mentari pagi pertama mulai terbit dengan indahnya. Namun, apa daya tubuh ini masih terasa lemas bertahan, beradaptasi dengan guncangan dan anginnya. Sarapan Pagi itu, telur, saus, sayur sawi putih dan nasi. Rasa asin air laut mungkin satu-satunya bumbu masakan ini. Tak banyak mengeluh ku santap sarapan, setidaknya untuk mengembalikan tenagaku lagi. Tetapi, tidak lama kepala ku mulai pening, semua santap pagiku yang telah berada dalam perut mulai naik ke uluh hati menuju kerongkongan dan berakhir semua itu ku lepaskan kelautan lepas.
Siang itu kami bersandar di Pulau Kalimantan, Pelabuhan Batulicin. Banyak penumpang yang turun, membuat dek bagian dalam menjadi sangat kosong. Aku berserta temen-temanku bergegas menuju dek paling bawah untuk mendapat tempat baru yang lebih layak. Usai itu, tak lama-lama aku keluar dek melihat pemandangan pelabuhan kecil ini. Sekitar 2 jam kapal pun berangkat menuju Pulau Sulawesi, Pelabuhan Makassar. Keesokan harinya kami tiba, lautan bersih biru jernih di pinggir kota ini membuat ku takjub. Saat kami tiba kami memiliki waktu 4 jam untuk turun menginjakan kaki di Kota Makassar, lama waktu kapal bersandar. Setidaknya menghilangkan rindu akan hirukpiku lautan dan makanan bumbu air laut itu. Ini cukup menghibur hati ku dan teman-teman ku yang lain, terlebih kami memang belum pernah berada disini sebelumnya. Kami habiskan waktu dengan makan makanan berasa yaitu Coto Makassar dan jajan di minimarket.
Pelabuhan Makassar |
Kapal pun kembali berlayar sesui dengan waktunya menuju kegugusan Pulau Sunda Kecil. Pelabuhan Bima adalah yang pertama. Ombak laut cukup membuat kapal ini berguncang. Aku sudah bisa mengendalikan diri dengan antimo dan hibernasi, tidur selama yang aku bisa. Perjalan menghabiskan waktu sekitar 1 hari. Pemandangan luar biasa indah yang aku lihat, hamparan bukit-bukit dengan pantulan sinar matahari yang terpantul di birunya air laut. Tak pernah aku bayangkan daerah seperti ini berada di Indonesia. Satu hal yang tebesit dipikiranku, ini seindah yang ada yang di majalah dan tv.
Pelabuhan Bima |
---to be continued